Belum hilang rasa greget saya atas pemberitaan tentang defisitnya BPJS sehingga Menkes akan menaikkan iuran kesehatan. Sekarang ditambah miris saat mendengar pihak peneliti, rumah sakit, bahkan Gubernur kecewa pada BPJS Kesehatan. Niat baik mereka yang ingin melakukan perbaikan dengan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan JKN belum juga terlaksana. Hal ini dikarenakan mereka kesulitan untuk mendapatkan data sekunder maupun wawancara dengan pihak BPJS Cabang. Kenapa sulit? Karena ternyata semua data sekunder terkait JKN hanya bisa Anda dapatkan di BPJS Pusat. Hal ini disampaikan oleh Togar Siallagan selaku Kepala Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Pusat dalam acara Seminar Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan yang diadakan oleh PKMK FK UGM. Awalnya saya penasaran dan tertarik untuk melihat video persentasi Pak Togar. Namun hanya kekecewaan yang saya dapatkan atas persentasi beliau. Singkat, padat dan tidak jelas. Alhamdulillah semua terbayar dengan bahan persentasi beliau yang cukup dimengerti dan diskusi yang panjang dengan banyaknya pertanyaan dari para audiens kepada Pak Togar. Seru. Yuk Ikutin.
Ada pertanyaan dari audiens undana yang cukup membuat jleb Kepala Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Pusat. Audiens tersebut menjelaskan bahwa sulit untuk mendapatkan data sekunder (besaran klaim yang dibayarkan ke PPK dan data kepesertaan) bahkan pihak BPJS cabang tidak mau diwawancarai oleh peneliti. Hal ini dikarenakan wawancara dan data sekunder tidak dapat dikeluarkan bila tidak ada ijin dari BPJS Pusat. Kejadian ini membuat ketidak transparannya BPJS terhadap publik. Apakah ada Laskar Mutu yang mengalami hal serupa seperti yang dialami peneliti Undana?? Bisa menuliskan di komentar dibawah ya. Bila berkenan. Terimakasih.
Pertanyaan tersebut dijawab oleh pak Togar bahwa data sekunder tersentralisasi di Pusat sehingga tidak ada bila bertanya ke daerah. Karena server nya langsung di Pusat. Nanti pun pembayaran atau transaksi akan langsung di Pusat karena tidak ada lagi di daerah. Pak Togar menambahkan bahwa Bidang Litbang BPJS Kesehatan Pusat telah membuat pedoman manajemen penelitian yang mana harus menggunakan email atau langsung membuat surat ke Pusat. BPJS Kesehatan akan melayani. Sosialisasi terkait hal tersebut masih masif ke cabang. BPJS Kesehatan berupaya agar data sekunder (kepesertaan, jenis kelamin, fasilitas kesehatan, utilisasi) seperti dalam persentasi bisa tersedia. Dalam pedoman penelitian, wawancara harus minta izin ke Pusat karena ada pengalaman berbeda yang disampaikan oleh petugas BPJS cabang dengan di Pusat sehingga menimbulkan persepsi sehingga semua wawancara diharapkan dikirim ke diklat penelitian untuk memudahkan jangan sampai ada perbedaan pernyataan.
Kasus di Riau, Gubernur ingin sekali mengetahui tentang data klaim bisa di analisis di tingkat daerah karena ingin supaya ada yang bisa dikerjakan oleh daerah misalnya perlu promosi kesehatan untuk mencegah operasi jantung dan sebagainya. Namun data tersebut tidak pernah di analisis di daerah melainkan langsung ke Pusat. Kejadian tersebut diceritakan oleh Prof Laksono kepada Kepala Litbang BPJS Kesehatan. Keren ya Gubernur Riau bisa berpikiran seperti itu?? Bagaimana Gubernur di daerah para Laskar Mutu mengenaik JKN ini??
Pertanyaan dari audiens RS Sardjito juga ikut memberikan pernyataannya seperti audiens undana dan Gubernur. Beliau menjelaskan bahwa RS Sardjito sebagai PPK 3 untuk mendapatkan data lengkap untuk pasien-pasien yang di setujui klaim nya dan tidak di setujui atau di pending sampai saat ini masih kesulitan. Data yang diberikan hanya nomor SEP, tanggal masuk, tanggal keluar, data pengajuan klaim, tarif rumah sakit dan tarif yang disetujui. Sehingga kesulitan ketika ingin melakukan yang mana saja kasus di RS Sardjito yang tidak bisa disetujui dan disetujui. RS Sardjito pernah mendapatkan data yang lengkap di awal Januari dan Februari daripada data yang sekarang diberikan kepada RS. Pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab singkat oleh Pak Togar bahwa pernyataan dari pihak RS akan ditampung dan disampaikan ke Pusat. Ahh mengecewakan nih Pak Togar.
Budiono Santoso, MSc, PhD memberikan ilmunya mengenai data manajemen dari pengalaman di negara lain. Di Jepang, pada awal UHC policy pada tahun 60an belum ada software. Bahkan sampai sekarang Jepang belum mampu mensentralisasi data. Sehingga sejak tahun 60an telah terdesentralisasi. Korea sebaliknya. Mulai sepuluh tahun yang lalu Korea sudah ada program komputer dan ada sistem yang kuat sehingga semua data manajemen di sentralisasi di Pusat. Jadi nama satu orang pasien kemana pun bisa terdeteksi lewat sistem. China ingin meniru Korea dengan 800 juta peserta ingin mempunyai national database. Namun diingatkan untuk tidak terlalu ambisius melainkan ke provinsi dulu dengan 50 juta peserta. Keren ya Korea meskipun tidak bisa disamakan dengan Indonesia karena Korea hanya memiliki penduduk sekitar 100juta tidak seperti Indonesia yang lebih dari 240juta.
Pak Dwijo Susilo memberikan pernyataannya terkait DJSN. Di DJSN sudah memiliki panduan monev yang terdiri dari beberapa variabel dan instrumen. Panduan ini bisa digunakan oleh siapa saja sehingga tidak perlu mengembangkan instrumen lagi. Beliau menjelaskan bahwa DJSN selama ini melakukan monev yang mana merupakan kewajiban dari Undang-Undang yang akan disampaikan ke BPJS. Namun sayangnya sampai saat ini website DJSN belum berjalan melainkan masih dalam proses pengembangan. Nanti bila website telah jadi maka seluruh hasil monev DJSN akan ditampilkan di website DJSN.
Dr. Dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA memberikan pandangannya terkait penjelasan pak Dwijo Susilo. Beliau menjelaskan bahwa monev dependen itu tetap akan melindungi lembaganya sehingga kita hanya perlu berfokus pada monev independen. Bapak yang baru saja mendapatkan gelar Doktor ini menambahkan bahwa penelitian tidak hanya melihat data-data melainkan yang harusnya dilakukan adalah kasus misalnya kasus sistem yang tidak dapat mengakses data sudah menjadi cerita atau independen monitoring. Jadi kasus-kasus inilah yang perlu diangkat. Namun sayangnya orang yang biasa melakukan monitoring bila tidak berupa angka-angka maka tidak mau bicara. Hal yang penting ingin diangkat Pak Mubasysyir adalah transparansi. Transparansi adalah hak asasi publik terhadap informasi di lembaga pemerintahan yang dana nya dari pajak. Jadi seharusnya angka-angka itu ada. Bila sampai hal itu tidak ada di website berarti itu sudah menyalahi prinsip publik transparansi. Dorongan tranparansi kenapa tidak terjadi? Pak Mubasysyir tetap menduga memang niat kita belum bersih hatinya untuk menunjukkan apa yang sesungguhnya terjadi. Inilah Pak Mubasysyir. Dosen KMPK FK UGM yang saya suka dengan sikap beliau yang lugas, jujur apa adanya beliau. Dosen yang harus kita teladani.
Curcol nih. Kasus yg sama dengan yg dialami undana. Sangat menyedihkan, cmn butuh wawancara kpd pihak bpjs cab sleman tp kok dipersulit. Awalnya dengan alasan kepala sdm tdk ditempat, dtg berikutnya pimpinan cabang tidak ditempat, datang lagi untuk kesekian kalinya kalo surat harus di proses dulu ke pusat, ada staf yg bilang suratnya mau dikirim ke kantor regional di semarang, ada yg bilang harus kirim di kantor pusat jakarta. Miris bgt rasanya, krn seolah2 ditolak tetapi tdk diberitau.
saran sy sbg pihak yg ingin melakukan penelitian aja nih, seharusnya mekanisme penelitian di setiap kantor cabang jika memang wajib dilapor kepusat, setidaknya diberitahukan ke pihak peneliti saat membawa surat izin penelitian di kantor cabang, biar peneliti mengerti dan paham apa yg harus peneliti lakuin.