Saat kamu membaca puisi ‘Ibu Indonesia’ oleh Ibu Sukmawati Soekarnoputri, apa yang kamu RASAkan? Saya baru setahun ikut Komunitas Biblioterapi Indonesia yang didalamnya ada kelas poemterapy (kelas membuat puisi) dan saya tertarik dengan puisi ibu Sukmawati. Tiap baitnya memiliki RASA. Saya bukan orang yang pintar membuat puisi, saya lebih suka membaca puisi orang lain. Karena saya akan tahu apa yang sedang di RASAkan atau perasaan apa yang sedang dialami pemilik puisi tersebut.
Saat saya ikut komunitas Biblioterapi, saya baru tahu makna puisi itu apa. Bunda Susan (Guru di komunitas Biblioterapi) memberitahu “Puisi itu milik RASA pemiliknya. Untuk tahu betul apa motif dan pola RASA nya maka tanyalah pada yang menulisnya”. Dari penjelasan tersebut bila dikaitkan dengan puisi ‘Ibu Indonesia’ maka RASA dari puisi tersebut adalah milik ibu Sukmawati. Bukan milik saya atau kamu. Apa yang ibu Sukmawati tuliskan adalah buah dari referensi dan pengalaman ibu Sukmawati sendiri.
Tidak cantik bila mengkaitkan puisi dengan penghakiman. RASA tak pernah bohong. RASA tiap kata yang tertuang dari puisi ibu Sukmawati adalah kejujuran yang di RASAkan ibu Sukmawati. Seperti kisah Nabi Ibrahim AS, saat beliau melakukan pencarian Tuhan. Ketika Nabi Ibrahim berseru pada Matahari “ini Tuhanku”. beliau sedang mencari Tuhannya dan ternyata Matahari bukan Tuhannya karena tenggelam ketika malam.
Kalau ada yang mudah tersulut opini, bukti bahwa masih gersang akan makna. Yuk dalam keheningan jiwa, apa Alloh akan suka dengan sikapmu ini ?
“Puisi bu Sukmawati Soekarnoputri bisa jadi teguran untuk yang asyik sholehah/sholeh sendirian. Padahal di bagian bumi Indonesia ini, ada juga yang tak terjamah syariat. Jangankan gamis syar’i (syariat), kerudung saja tak punya. Ada di bagian kepulauan ibu pertiwi yang tidak tersentuh syariat Islam dan Adzan” Kata Bunda Susan.
Kata bunda Susan diatas sama seperti cerita teman biblioterapi yang pernah meneliti minat baca di Baduy Banten dan hampir mirip dengan puisi ibu Sukmawati. Yuk kita coba menilik seperti apa masyarakat Baduy Banten.
“Karya yang bagus itu yang mengundang kontroversi. seperti buku kehidupan kita yang memiliki banyak halaman kontroversinya. tapi Alloh selalu memberi halaman putih untuk mengisinya dengan isi yang lebih baik” Kata Bunda Susan.
Lalu bagaimana dengan kesan saya pribadi ? Karena saya sudah setahun ikut komunitas biblioterapi yang tiap minggu membuat puisi, saya akan membuat puisi sesuai apa yang ada di kepala saya, apa yang saya rasakan saat itu dan sesuai pengalaman saya. Saya yang membaca puisi ibu Sukmawati, bisa meRASAkan bahwa beliau belum tahu atau mengenal Islam terlihat dari kalimat “aku tak tahu syariat Islam”. Jadi pesannya adalah kita yang tahu Islam sebaiknya menyiarkan Islam kepada yang belum tahu Islam dengan lebih indah.
Kesimpulannya adalah puisi ibu Sukmawati hanya bisa kita duga sesuai dengan pengalaman RASA kita sendiri karena pengertian dari puisi berbeda-beda sesuai sudut pandang masing-masing. Jadi silakan teman-teman memilih ingin cari sisi positif atau negatifnya. Jika kita maknai positif, kebaikan kembali pada kita.
Biblioterapi mengajak bukan mengejek, merangkul bukan memukul. Bunda Susan memberikan pesan “jangan lihat siapa yang menulisnya. lihatlah apa yang ditulisnya. Kadang ketika kita tidak bisa objektif, kita melihat ‘siapa’ nya. akhirnya taklid (ikut-ikutan). kita tidak pro penulisnya, juga tidak pro pada yang kontra. kita penikmat panggung sandiwara.. oh, dunia”
Al Qur’an juga puisi illahi, bahasa sastra tingkat tinggi. Puisi adalah fitrah insani untuk belajar mengkaji diri, membaca rasa dan karsa. merangkai kata adalah bagian dari refleksi jiwa. Alloh SWT telah luar biasa memberi kita pikiran dan perasaan. Semoga Alloh terus membimbing kita semua makin cinta Alloh SWT dan makin taqwa.
Leave a Reply