Biblioterapi tematik semalam membahas buku karya Goldenberg. Dimulai dengan pertanyaan “apakah sikap anak kita sekarang adalah cerminan masa remaja kita dulu?”. Buku Goldenberg menjawab bahwa interaksi dalam keluarga lebih dipengaruhi oleh sistem otonomi sebuah keluarga seperti komunikasi, tanggung jawab, toleransi interaksi, penghargaan antar anggota keluarga dalam menyatakan perasaan, pikiran dan perilaku sesama anggota keluarga (Goldenberg, 1980, chapter 2, p.40 )
Pertanyaan berikutnya adalah tentang perceraian keluarga. Jika terjadi perceraian dan anak ikut ibunya maka yang berperan sebagai ayah adalah ayah kandungnya meskipun ibunya sudah menikah lagi. Perceraian tidak lantas menghilangkan kewajiban ayah kandungnya dalam menafkahi anak (keturunannya). Bahkan dalam Islam dikenal adanya nasab. Jika ayah kandungnya tidak sanggup menafkahi anaknya maka hal ini menjadi tanggungan laki-laki di sepanjang garis keturunan ayahnya misal kakek, adik/kakak laki-laki ayahnya. Ini bila kondisi menuntut menjadi orantua tunggal. Jika pun misal ada yang menjadikan anak tersebut anak angkat, tetap tidak senasab.
Islam berpendapat secara positif, bahwa pengangkatan anak adalah suatu pemalsuan terhadap realita, suatu pemalsuan yang menjadikan seseorang terasing dari lingkungan keluarganya . Dia dapat bergaul bebas dengan perempuan keluarga baru itu dengan dalih sebagai mahram padahal hakikatnya mereka itu sama sekali orang asing. Isteri dari ayah yang memungut bukan ibunya sendiri, begitu juga anak perempuannya, saudara perempuannya atau bibinya. Dia sendiri sebenarnya orang asing dari semuanya itu. Al Qur’an menghapus aturan jahiliah ini dan diharamkan untuk selama-lamanya serta dihapusnya seluruh pengaruh-pengaruhya.
“Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dialah yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak) itu dengan bapa-bapa mereka, sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapa-bapa mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu” (Al Ahzab: 4-5)
Persoalan ini tidak begitu mudah, sebab masalah anak angkat sudah menjadi aturan masyarakat dan berakar dalam kehidupan bangsa Arab. Oleh karena itu, dalam kebijaksanaan Alloh untuk menghapus dan memusnahkan pengaruh-pengaruh perlembagaan ini tidak cukup dengan omongan saja, bahkan dihapusnya dengan omongan dan sekaligus dengan praktik. Yang dapat dilakukan adalah tidak menghindarkan anak dari interaksi dengan ayah kandungnya meski sudah bercerai, menjadi komunikasi dialogis agar anak tetap merasakan kehadiran figur ayahnya, jangan memaksakan kehendak apalagi melarang/bahkan memaksa anak bertemu ayahnya (biarkan anak memilih yang dia inginkan), hindari membicarakan keburukan ayahnya pada anak (meski sebenarnya buruk), hindari menurunkan trauma pribadi masa lalu sebagai istri kepada anak, itu terkait autonomi peran ibu terhadap anak korban perceraian. Kalau terkait penghidupan, maisyah/nafkah, sang ibu boleh meminta agar anaknya tetap dinafkahi ayahnya. Jika kondisinya ayahnya lepas tangan, ibu boleh bekerja halal menafkahi diri dan anaknya hingga masa baligh anaknya bisa mandiri. (tergantung konteks) selama itu pula dihitung sedekah.
Satu hal yang perlu dilakukan oleh ibu yang single parents “tak ada tempat bergantung selain pada Alloh yang Maha hidup dan menghidupkan), tawakal dan susun strategi bersama anak untuk bertumbuh berkembang positif. Meski harus menjalani peran ganda (sebagai ayah & ibu), jalan lainnya adalah menikah lagi (dengan yang baik agamanya) kalau bercerai. Jangan sampai bercerai dan tak punya pasangan sampai meninggal. Kelak tak ada pasangan di akhirat. Lain halnya jika ditinggal meninggal dunia. Kalau ibu tidak menikah lagi, maka jodohnya masih yang sama. Jika menikah lagi, maka kelak bersanding dengan yang paling sholeh diantaranya. Wallohualambishawab.
Sumber : Bunda Susan dalam komunitas biblioterapi indonesia. 24 April 2018
Leave a Reply