Alkisah, seorang pemuda tampan yang sudah ingin menikah meminta nasihat kepada orang bijak, bagaimana caranya mendapatkan jodoh yang sempurna. Lalu sang bijak itu menjawab “Begini saja.. coba kau berjalan di pekarangan bunga itu, kau petik satu bunga yang indah menurutmu. Namun ingat, jangan pernah menoleh kebelakang ya.. teruslah berjalan”. Beberapa jam kemudian, iapun kembali dengan tangan kosong. Lalu berkata,”Guru, sebenarnya aku tadi sudah pernah menemukan bunga yang cukup indah, namun karena kupikir di depan sana akan ada yang lebih indah maka aku tidak mengambilnya. Sampai akhirnya aku ada di akhir perjalanan namun tidak bisa kembali lagi ke tempat tadi. Bagaimana guru?”.
Nah begitulah jodoh. Seringkali kita belum menikah bukan karena tidak ada jodoh, namun masih menunggu seseorang yang sempurna. Hebatnya, kita selalu berhasil melihat kekurangan calon pasangan, namun lalai melihat kekurangan diri. Mengharapkan yang sempurna, padahal diri jauh dari kesempurnaan. Lelaki, cari yang cantik, solehah, keturunan orang kaya. Begitu juga wanita, cari yang cakep, mapan, apalagi kalau hafids Qur’an.
Lupa bahwa jodoh adalah cerminan diri. Kalau sekarang yang datang lelaki PHP coba evaluasi, jangan-jangan kita baru ada di level itu. Kalau wanita yang didekati selalu menolak, coba mengaca diri, jangan-jangan kita lupa diri.
Dan, kita bukan sedang berkompetisi dengan siapapun. Sejatinya kita sedang berkompetisi dengan usia juga bertarung dengan nafsu dalam diri. Nggak perlu panas dengar teman udah menikah, gak perlu khawatir berlebihan saat orang tua desak terus kapan nikah. Justru coba evaluasi diri: udah pantas belum saya jadi suami yang bisa memimpin? Udah siap belum saya jadi makmum yang taat pada suami? Udah siap belum saya jadi ibu dan ayah yang terbaik untuk anak keturunan saya kelak ?
Coba perhatikan, berapa banyak perceraian di Indonesia? Dalam sebuah data di tahun 2016 aja ada 316.500 perceraian. Saya gak bisa membayangkan, berapa juta anak yang terlantar, tergoncang jiwanya, sampai tak menemukan sosok ayah ibu yang baik. Efeknya? Jangan salahkan kalau banyak kenakalan remaja dan penyimpangan lainnya.
Jadi, maukah kita memutus mata rantai keterpurukan ini ? Maukah kita jadi suami dan istri terbaik? Kelak menjadi seorang ayah dan ibu terbaik buat putra putri kita ? Kalau sukses karir saja kita butuh belasan tahun sekolah dan kuliah, masa untuk berumah tangga puluhan tahun saja kita gak serius mencari ilmunya.
Sumber : Setia Furqon Kholid
Leave a Reply