Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah setahun berjalan. Kalau diibaratkan seorang bayi, berarti sudah mau bisa jalan, dan sudah mulai tumbuh gigi. Lalu bagaimana dengan JKN? Masalah tentang sosialisasi, kepesertaan, sistem rujukan dan klaim dari BPJS sudah berjalan baik kah??? Saya tidak akan membahasnya dalam tulisan saya. Hehe Saya lebih tertarik untuk membahas apakah amanah JKN untuk RS dalam melakukan efisiensi telah dilakukan? kendali mutu kendali biaya nya bagaimana? Bagaimana peran klinisi dalam kendali mutu kendali biaya ini?? Salah satu caranya adalah sesama sejawat harus KOMPAKAN.
Menurut dr. Astari Mayang MPH ternyata pengetahuan tentang INACBG, manajemen casemix belum merata di nusantara. Contohnya rekan-rekan klinisi dan praktisi RS di pangkal pinang. Sosialisasi kendali mutu kendali biaya masih agak bingung bagaimana peran klinisi di RS. Peran manajemen RS juga tidak terlalu jelas. Tim Kendali Mutu Kendali Biaya (TKMKB) pusat dan provinsi ternyata independen. Menurut saya pribadi, sejawat klinisi di fasilitas kesesehatan berperan besar dalam tentukan panduan klinis dan clinical pathways yang berlaku di fasilitas kesehatan masing-masing. Praktisi RS dapat gunakan TKMKB internal untuk analisa data internal, investigasi internal, program antifraud, promosi.
Bagaimana klinisi dapat berperan dalam Kendali Mutu Kendali Biaya?
- Kompakan masalah antibiotik. Sejawat pemegang pisau dan non surgical harus bisa capai konsensus 1 st line, 2nd line nya apa di RS. Kenapa ? karena makin banyak variasi, makin banyak supplier yang harus kerjasama dengan RS dalam volume pembelian kecil-kecil namun jadi menggunung di gudang. Gunungan obat di gudang sama dengan pemborosan. RS Seki Chuo di jepang, farmasinya tidak perlu gudang. Supplier antar tiap minggu obatnya. Karena supplier obat hanya sedikit, RS punya bargaining power lebih untuk minta pasokan obat teratur agar tidak perlu gudang. Gudang=boros. Klinisi perlu tahu tentang ini? Menurut saya Ya. Karena klinisilah yang pesan obat tahun lalu kemudian meresepkan yang berbeda tahun ini.
- Kompakan alat kesehatan & bahan medis habis pakai untuk prosedur dengan sejawat lalu sampaikan ke manajemen. contoh sederhana benang. Tentukan maksimal 2-3 alternatif benang yang akan dipakai untuk setiap jenis operasi/prosedur dari buka kulit sampai tutup kulit. Buat daftarnya untuk semua jenis operasi yang sejawat lakukan di RS tersebut. Termasuk alkes lainnya seperti drain, shunt, etc. Dengan begitu bagian pengadaan RS hanya akan berurusan dengan suplier2 benang yang memang dipakai. Mirip dengan masalah antibiotik.
- Obat-obat lain seperti analgetik juga perlu dikonsensuskan bersama dengan sejawat-sejawat di RS yang sama. Tentu saja harus berakar dari evidence based. Saya kan klinisi, saya ga perlu mikir tentang pengadaan, gudang, etc? Tidak harus mikir memang, namun wajib aware terhadap pemborosan
- Pemborosan yang bersumber dari proses kerja kita diantaranya defects, over-production, transportation, waiting, inventory, motion, over-processing, human potential.
(Sumber : Blog dr. Astari Mayang, MPH)
Dari penjelasan tulisan dr. Mayang diatas, ada yang menjadi pertanyaan saya. Apakah di RS dr. mayang tersebut telah menerapkan hal tersebut?? Apakah para klinisi kompakan stop melakukan pemborosan? Bagaimana caranya klinisi bisa kompak?
Kalau menurut saya, kembali lagi ke pimpinan. Bagaimana kemampuan pemimpin dalam melakukan negosiasi yang win-win solution terhadap para klinisi. Salah satunya dengan memberikan bukti atau penjelasan kepada klinisi tentang sebab akibatnya. Saya percaya bila adanya transparansi dan pendekatan yang berbasis ilmu, para klinisi akan memahaminya dengan baik. Yang pasti tidak perlu takut dan cobalah. Walau nanti akan sulit dan berat dalam prosesnya tapi akan ada hasil yang indah. Niat yang baik (perbaikan yang berkualitas untuk pasien) akan selalu ada kemudahan untuk rumah sakit tersebut. Yakin dan percaya.
Leave a Reply