Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) meluncurkan hasil penelitian yang membuktikan, konsumsi rokok pada orang tua dapat mengakibatkan anak stunting. Selain itu, Penelitian terhadap data sepanjang 1997 – 2014 dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) menunjukkan perilaku merokok telah berdampak pada kondisi stunting anak-anak mereka, yang terlihat pada tinggi dan berat badan.
Teguh Dartanto menjelaskan bahwa penelitian ini kombinasi dari peneliti ekonomi dan kesehatan. Penelitian ini menggunakan data panel atau kohort dari orang yang sama dari tahun 2000 ketika anaknya kecil seperti apa dan tahun 2007 diikuti kondisi berat badan dan tinggi badan beserta perilaku orangtua dalam merokok. Dan hasilnya anak-anak yang orangtuanya perokok kronis memiliki berat badan 1,5 kg lebih ringan dari anak-anak yang bukan dari orangtua perokok. Dan tinggi badan 0,34 cm lebih rendah dibandingkan anak yang bukan dari orangtua perokok. Lalu mengapa ini bisa terjadi ? Ternyata selama 21 tahun dari tahun 1993 hingga 2014 terjadi peningkatan pengeluaran rokok yang awalnya hanya 3,6 % dari pengeluaran rumah tangga menjadi 5,6 % dari total pengeluaran rumah tangga. Dan kenaikan pengeluaran rumah tangga terhadap rokok dibarengi oleh penurunan pengeluaran rumah tangga terhadap makanan. Peneliti pun menganalisis dengan memperhitungkan faktor genetik, lingkungan anak dan orangtua sehingga didapatkan bahwa orangtua perokok kronik memiliki kecenderungan anak-anaknya stunting. Stunting berhubungan dengan tingkat kecerdasan. Dan peneliti melihat pola bahwa anak yang stunting, kecerdasannya lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tidak stunting.
Bernie Endyarni menjelaskan bahwa stunting tidak hanya memiliki perawakan pendek tapi diakibatkan oleh malnutrisi yang kronis sehingga akan mengganggu baik secara fisik, perkembangan otak (1000 hari HPK). Bila terjadi malnutrisi yang kronis selama 1000 hari HPK ditambah orangtua merokok maka akan mengganggu fungsi otak dan mudah sakit. Sudah banyak penelitian yang menghubungkan antara merokok pada kehamilan dengan berat badan lahir rendah dan prematur karena merokok tidak hanya berdampak pada ibunya tetapi akan terus mengalir di dalam darah. Darahnya akan memberikan makan dan oksigen ke janin.
Isu rokok harus mahal adalah salah satu cara pengendalian mengkonsumsi rokok.. Inti rokok harus mahal sebenarnya ingin menjaga agar anak-anak usia muda tidak membeli rokok karena uang saku anak muda sedikit sehingga ia tidak memiliki kemampuan untuk membeli bila harga rokok mahal. Tapi rokok bersifat adiktif/kecanduan. Sehingga meskipun harga rokok mahal maka mereka akan tetap membeli. Data PKJS-UI menyebutkan meskipun mereka merokok, rokok mahal akan setuju karena mereka berfikir yang sebenarnya perokok sudah sadar bahwa merokok tidak baik dan anak harus dilindungi agar tidak merokok. Selain itu, harus ada kebijakan yang lebih menyeluruh dari pemerintah. Pemerintah sebenarnya setengah hati yaitu melindungi masyarakat dari bahaya rokok tapi di sisi lain industri rokok memberi sumbangan ekonomi. Selain itu, harus ada pembatasan. Selama ini hanya menggunakan cukai rokok. Walau cukai rokok naik tetapi produksi rokok terus meningkat sehingga belum efektif bila rokok mahal. Perlu pembatasan produksi rokok artinya membagi seluruh pabrik rokok maksimal setahun berapa. Selain itu, membuat lingkungan tidak nyaman bagi para perokok (tidak sembarang merokok).
Menurut Teguh Dartanto, selama 21 tahun, usia perokok (11-20 tahun) pada tahun 1993 hanya 1,8 %. Tetapi 20 tahun kemudian menjadi 7,7 % (naik 4 kali lipat) pada tahun 2014. Sedangkan perokok produktif mengalami peningkatan yang tidak seperti usia muda.
- Dr. Bernie Endyarni Medise,SpAK MPH Ketua Satuan Tugas Remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia IDAI
- Teguh Dartanto, PhD Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Sumber : Dr. Bernie Endyarni & Teguh Dartanto pada Ruang Publik KBR edisi ke 7 rokok harus mahal. 25 Juli 2018.
Leave a Reply