Penyelenggaraan Sistem Rujukan Layanan Kesehatan Primer

Penyelenggaraan Sistem Rujukan Layanan Kesehatan Primer
Penyelenggaraan Sistem Rujukan Layanan Kesehatan Primer

Sistem rujukan adalah suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab timbal balik terhadap suatu masalah kesehatan masyarakat dan kasus penyakit secara vertikal yaitu dari unit yang belum mampu menangani atau secara horizontal yaitu antar unit-unit yang setingkat kemampuannya (Depkes RI, 2004a). Sistem rujukan dapat juga dibagi atas komponen-komponen yang meliputi: manajemen, komunikasi transport, informasi, pembiayaan, organisasi, sarana-prasarana-alat (SPA).

Rujukan medik yang dilaksanakan langsung dari puskesmas ke RS kelas B atau A di provinsi atau regional, bukan merupakan suatu bentuk efisiensi tetapi justru melemahkan fungsi dari unit-unit pelayanan kesehatan tersebut dalam sistem rujukan (Soejitno, 1994).

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam suatu sistem rujukan yang baik adalah pelayanan tingkat pertama harus dilengkapi peralatan yang mempermudah penanganan, mempersiapkan dan pengiriman penderita ke tempat tujuan; melibatkan pembiayaan dari asuransi kesehatan dalam pembiayaan rujukan; semua tenaga kesehatan harus bekerja sesuai dengan kemampuan yang ada berdasarkan peraturan dan etik; adanya hubungan fungsional antara setiap unit pelayanan; adanya standar medis dan peralatan dan penanganan penderita selalu diutamakan (sutarjo, 1993).

Pada umumnya, alasan dilakukannya rujukan dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu meminta saran dan ketrampilan spesialistik, hanya meminta saran, hanya meminta ketrampilan spesialistik saja, dan atas permintaan pasien atau pihak ketiga (Starfield et al, 2002). Sedangkan Forrest et al berpendapat bahwa rujukan dilakukan karena tiga alasan utama yaitu untuk meminta saran dalam penegakkan diagnosis dan rencana pemberian terapi, meminta pelayanan spesialistik yang tidak dapat dilakukan dokter umum baik pelayanan medik maupun bedah, dan atas permintaan pasien atau pihak ke tiga. Sedangkan kondisi klinis yang mempengaruhi keputusan dokter untuk merujuk adalah karakteristik dari penyakit, adanya komorbid, berat dan kompleksitasnya komorbid (Forrest dan Reid, 2001).

Menurut Penelitian Sutji (2011) menjelaskan beberapa alasan dokter puskesmas merujuk adalah (1) permintaan pasien, kasus yang membutuhkan penanganan dan tindakan spesialistik; (2) keterbatasan obat dan alat (pilihan obat yang sederhana, kebanyakan obat generik); (3) spesialis tidak lengkap di RSUD; (4) clinical skill dokter umum (keraguan dalam penegakan diagnosis, keraguan dalam menetapkan terapi terbaik, terapi yang diberikan tidak berhasil, untuk mencari komplikasi yang terjad pada pasien yang bersangkutan dan tidak percaya diri dalam menangani kasus-kasus tertentu). Selain itu, ada perilaku pasien yang specialist minded dan memaksa dokter untuk melakukan rujukan sehingga mempengaruhi tingginya angka rujukan[i].

  1. Permasalahan dalam Rujukan

Hambatan-hambatan yang dijumpai dalam menjalankan tugas pelayanan kesehatan di PPK I yang mempengaruhi keputusan tenaga kesehatan dalam merujuk pasien adalah prosedur, kurangnya komunikasi antara dokter spesialis dan dokter umum, insentif, dan kurangnya clinical skill dokter umum dalam mengelola pasien.

Prosedur yang dimaksud adalah tidak adanya standar atau kriteria, atau pedoman yang dapat digunakan untuk merujuk atau mengembalikan rujukan. Sehingga rujukan dibuat berdasarkan kriteria yang dibuat oleh masing-masing. Selama pasien yang datang membawa persyaratan yang lengkap, tetap dilayani, walaupun sebenarnya kasusnya bisa ditangani di PPK I.

Proses rujukan seringkali terbalik, pasien sudah berobat ke RS, baru kemudian datang ke puskesmas untuk meminta surat rujukan. Masyarakat pemegang kartu jaminan merasa berhak menikmati pelayanan kesehatan tanpa mengikuti aturan yang ada, sebaliknya dokter PPK I tidak bisa menolak jika dipaksa membuat surat rujukan oleh pasien.

Pembagian wewenang antara PPK I dan PPK II yang tidak jelas menjadi masalah dalam pelayanan kepada pasien. Seorang tenaga kesehatan di puskesmas mencontohkan kasus phymosis atau ganglion. Secara teori dan ketrampilan, responden merasa sanggup dalam menangani kasus tersebut. Tetapi karena tidak ada kejelasan pembagian wewenang antara PPK I dan PPK II, hal ini membuat responden memilih untuk merujuk pasien meskipun mampu menangani kasus tersebut.

Komunikasi dan koordinasi antara PPK I dan PPK II yang dirasakan kurang juga dianggap sebagai penghambat pelayanan dan meningkatkan angka rujukan. Komunikasi lewat surat rujukan dianggap tidak efektif. Ada responden yang menganggap bahwa surat rujukan yang selama ini dibuat belum menjalankan fungsi sebenarnya sebagai alat komunikasi, tetapi hanya sebagai syarat administratif yang harus dipenuhi apabila pasien ingin berobat ke dokter spesialis.

Surat jawaban rujukan dari dokter spesialis di RSUD, tidak pernah diterima oleh semua responden. Yang ada hanya resume pasien pulang, jika pasien tersebut pasien rawat inap. Responden mengharapkan ada surat jawaban rujukan yang mencantumkan diagnosa pasti, berbagai advis, seperti apa saja yang harus dimonitor pada pasien tersebut atau sampai kapan obat diberikan.

Dilain pihak, responden juga mengakui kalau surat rujukan yang mereka buat sering tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan salah pengertian. Selain itu, tidak adanya formulir surat rujukan yang baku, merupakan faktor pendukung kondisi rujukan di lampung selatan.

Komunikasi langsung lewat telepon atau pertemuan-pertemuan antara dokter umum di PPK I dan dokter spesialis di PPK II masih sangat langka untuk dilakukan. Case review yang seharusnya dilakukan sebagai bagian dari sistem managed care belum lancar berjalan. Untuk komunikasi lewat telepon kadangkala dilakukan oleh beberapa responden, bila ada kasus cito yang harus mendapat tindakan segera. Beberapa responden juga mengatakan bahwa mereka mengalami kesulitan berkomunikasi lewat telepon dengan dokter spesialis dan hanya bisa bicara dengan perawat saja.

Semua responden berharap adanya pertemuan rutin antara dokter spesialis dan dokter umum untuk berkoordinasi, terutama dalam hal penanganan pasien-pasien yang akan dikembalikan untuk dikelola oleh dokter umum di PPK I.

Hal lain yang dianggap hambatan dalam menurunkan angka rujukan adalah insentif. Sistem kapitasi yang diberlakukan di puskesmas membuat para dokter yang bertugas seringkali mengambil keputusan untuk merujuk pasiennya.

Sistem insentif yang berbeda untuk PPK I juga mungkin berpengaruh dalam meningkatkan angka rujukan. Insentif untuk PPK I yang berbasis kapitasi mensyaratkan jumlah kunjungan dan biaya pelayanan kesehatan yang rendah agar dapat diperleh insentif yang besar.

  1. Dokter Puskesmas

Kompetensi dokter layanan primer dalam dokumen Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) 2006, terdapat 7 area kompetensi yaitu area komunikasi efektif, area ketrampilan klinis, area landasan ilmiah ilmu kedokteran, area pengelolaan masalah kesehatan, area pengelolaan informasi, area mawas diri dan pengembangan diri; area etika, moral, medikolegal dan profesionalisme serta keselamatan pasien.

Dalam pelayanan kesehatan berkonsep managed care, gate keeper memegang peranan penting dalam pengendalian biaya dan pemanfaatan jasa dan fasilitas kesehatan. Gate keeper adalah primary care physician (PPK I) yang bertugas untuk melakukan seleksi terhadap pasien binaannya mana yang memerlukan penanganan lebih lanjut di secondary atau tertiary health care (PPK II atau III). Lebih jauh lagi, dokter umum mengarahkan, mengendalikan, mengawasi, mengkoordinasi, dan memberikan pelayanna dasar kepada peserta managed care yang menjadi binaannya. Dengan demikian dokter umum sebagai gate keeper melaksanakan kontrol atas biaya dan pemanfaatan (utilisasi) (saefuddin & ilyas, 2001). Dengan kata lain ia juga bertindak sebagai case manager dalam pengelolaan pasien yang bersangkutan. Gate keeper akan memastikan bahwa pasien binaannya menerima pelayanan yang tepat, dengan biaya terkendali dan mendapatkan keadilan dalam pelayanan kesehatan. Dengan demikian, pasien akan terhindar dari prosedur pelayanan kesehatan yang tidak perlu dan berlebihan.

Banyak sistem pelayanan kesehatan diberbagai negara seperti Inggris, Belanda dan Amerika Serikat menggunakan gate keeper sebagai pengatur alur rujukan dari PPK I ke PPK II (Forrest, 2003; Davies dan Elwyn 2006). Meskipun demikian, penerapan sistem gate keeping banyak dipandang sebagai hal yang menimbulkan ketidak puasan pasien dalam mendapatkan pelayanan kesehatan, terutama di Amerika serikat. Selain itu ada pula pandangan bahwa biaya kesehatan yang lebih rendah bukan disebabkan langsung oleh gate keeping, tetapi oleh kontrol dari sisi suplai (Forrest, 2003).

Penelitian lain yang dilakukan Halm, Causino dan Blumenthal di Amerika Serikat membuktikan bahwa sistem gate keeping memiliki efek positif yang lebih besar dalam hal pengendalian biaya, jumlah dan kesesuaian pelayanan dan pengetahuan pasien mengenai pelayanan kesehatan dibandingkan dengan system tradisional. Tetapi, system ini dianggap memiliki kelemahan karena dapat mempengaruhi kualitas pelayanan, membatasi akses untuk mendapatkan pelayanan spesialistik dan kebebasan dalam membuat keputusan klinis (Halm et al, 1997). Sementara di Indonesia, system gate keeping masih dianggap masyarakat sebagai prosedur yang berbelit-belit dan memperpanjang birokrasi (Mukti, 2001).

  1. Mutu Rujukan

Davies & Elwyn (2006) menjelaskan bahawa penilaian mutu rujukan merupakan hal yang sulit karena perbedaan individu dalam menilai resiko terhadap pasien dan resiko potensial terhadap tuntutan hukum[ii]. Perbedaan ini menimbulkan variasi klinis yang luas terhadap pengertian ketepatan rujukan. Secara garis besar, rujukan yang baik adalah mengirimkan pasien yang tepat kepada pelayanan atau dokter spesialis yang tepat pada waktu yang tepat pula. Jika tidak dipenuhi, maka pasien akan mengalami resiko akibat keterlambatan bertemu spesialis. Sedangkan rujukan yang tidak tepat adalah rujukan yang ditujukan kepada pelayanan atau dokter spesialis yang tidak sesuai, rujukan yang tidak mencantumkan informasi yang cukup dan rujukan yang tidak sesuai dengan pedoman klinis yang dipakai.

Untuk pengendalian, digunakan form rujukan atau surat rujukan sebagai alat kontrol. Dalam surat rujukan, harus dicantumkan alasan dilakukannya rujukan. Dari alasan tersebut, dapat dinilai ketepatan rujukan. Selain itu, surat rujukan harus mencantumkan diagnosis atau diagnosis banding, apa yang telah dilakukan di PPK I dan apa yang diharapkan dilakukan oleh dokter di PPK II (Kongstvedt, 1989)[iii].

Penelitian Grimshaw et al (2005) menjelaskan adanya peningkatan mutu rujukan dengan penggunaan pedoman rujukan yang disertai checklist terstruktur dalam form rujukan. Checklist terstruktur yang diisi setiap melakukan rujukan ini akan mendorong dokter umum di PPK I untuk melakukan pemeriksaan dan pengelolaan yang tepat sebelum melakukan rujukan[iv].

Umpan  balik dari dokter spesialis di PPK II juga mempengaruhi mutu rujukan, seperti yang dibuktikan dalam penelitian Grimshaw et al (2005). Kurangnya umpan balik dari dokter spesialis juga akan menjadi hambatan dalam pelaksanaan rujukan ini. Seringkali dokter spesialis tidak memberikan jawaban atas rujukan yang dilakukan. Hal ini mengakibatkan fungsi gate keeper kurang berjalan dan meningkatnya angka rujukan (Mukti, 2001).

Rosenthal dkk (1996) mengemukakan bahwa ada 4 dasar penuntun untuk menyakinkan keberhasilan atau kualitas rujukan adalah (1) mengajak, pasien sebaiknya diajak berdiskusi proaktif tentang masalah-masalah yang dialami sehingga tidak terjadi salah informasi dan salah arah dalam memberikan pelayanan sehingga sesuai dengan tujuan rujukan (2) antisipasi, dokter umum mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan dengan memberikan penjelasan masalah rujukan dan penjelasan tentang diagnosis penyakitnya. Dokter spesialis sebaiknya mengantisipasi pasien dengan memberikan referensi khusus dan mengkomunikasikan ke dokter umum atas pertanyaan yang diajukan dan menggambarkan secara jelas hasil pemeriksaan serta siap mengembalikan pasien ke dokter umum yang merawatnya (3) umpan balik, surat rujukan balik merupakan sarana yang paling umum digunakan untuk komunikasi antar dokter, sebaiknya menggambarkan hasil pemeriksaan, interpretasi diagnosis, rencana perawatan, strategi follow up dan surat harus singkat tetapi bersifat informatif dan komunikatif (4) penaksiran, merupakan komponen yang mempunyai potensi terbesar dalam menemukan kelemahan-kelemahan proses rujukan dan merupakan salah satu alasan dokter umum untuk merujuk pasien. Hal ini bisa mencegah ketidakpuasan, menghindari masalah-masalah yang tidak termonitor dan membuat kesempatan yang baik untuk perawatan selanjutnya. Umpan balik dalam sistem rujukan merupakan kunci masukan, sementara proses berjalan dalam sistem, informasi umpan balikkan kepada orang yang tepat/kepada pengirim. Sistem umpan balik mengukur output suatu proses dan menyimpan tindakan koreksi ke dalam sistem atau input sistem untuk memperoleh output yang dikehendaki[v].

  1. “Networking” dalam Sistem Rujukan

Dalam proses rujukan, salah satu cara untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi adalah membangun networking yang kuat antar institusi pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit. Networking ini penting untuk menjamin kecepatan dan ketepatan penanganan terhadap pasien yang secara langsung mempengaruhi mutu layanan kesehatan.

Salah satu contoh kecil dalam proses networking adalah komunikasi antara puskesmas terutama mengenai keadaan pasien, proses rujukan dan pembiayaan serta kesiapan rumah sakit dalam transport dan penerimaan rujukan. Menurut Macintyre et al (2011), salah satu bariers dalam sistem rujukan adalah kurangnya komunikasi yang baik dan koordinasi antar unit dalam sistem kesehatan[vi]. Dan salah satu bentuk pengembangan networking dalam sistem rujukan adalah dengan sistem elektronik (Gandhi et al, 2008)[vii].

Dalam konteks pembentukan jaringan kerja dalam proses rujukan, maka aspek komunikasi antar institusi menjadi sangat penting. Penelitian Nakahara et al (2010) di Kamboja menemukan bahwa kegagalan sistem rujukan formal disebabkan karena dua hal yaitu kurangnya komunikasi informasi dan kurangnya pemanfaatan layanan ambulans[viii].

Unlimited Hosting WordPress Developer Persona

Menurut Mwangome et al (2012) beberapa alternatif untuk meningkatkan respon petugas kesehatan dalam penanganan masalah rujukan di rumah sakit adalah dengan (1) intervensi ekonomi, (2) perubahan kebijakan dan praktek di rumah sakit dan (3) pendidikan masyarakat[ix]. Konsep pengembangan networking antara puskesmas dan rumah sakit di mulai dari adanya perubahan kebijakan dan praktek di rumah sakit.

Penelitian yang dilakukan Nurjayanti (2011) di Kabupaten Dompu menemukan bahwa jejaring komunikasi antara yang merujuk dengan penerima rujukan belum terjalin karena belum adanya petunjuk teknis sistem rujukan[x].

  1. Pelatihan Tenaga Kesehatan

Menurut Penelitian Luti, I (2012), salah satu masalah dalam pelaksanaan sistem rujukan di kabupaten Lingga adalah masalah kompetensi tenaga kesehatan[xi]. Dan menurut Ramarao et al (2004) menjelaskan bahwa salah satu strategi yang penting untuk meningkatkan kesiapan fasilitas kesehatan adalah dengan melakukan pelatihan kepada tenaga kesehatan untuk meningkatkan kompetensi[xii]. Hal yang sama jugadijelaskan Sanders et al (1998) yang mengatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sistem rujukan adalah dengan pelatihhan bagi tenaga kesehatan yang bekerja pada bagian yang berkaitan langsung dengan layanan kesehatan baik di tingkat pelayanan kesehatan primer maupun di rumah sakit[xiii].

Menurut Kongstvedt (2000), pengarahan dan pendidikan akan meningkatkan kepatuhan PPK kepada prosedur dan kebijakan yang ditetapkan bapel asuransi, kegagalan mendidik PPK agar memiliki pemahaman yang benar tentang prosedur dan kebijakan dalam pelayanan terkendali merupakan kesalahan yang sering dilakukan, sehingga dokter gagal melaksanakan sistem rujukan dengan benar, memberikan pelayanan yang berlebihan, cenderung melakukan rujukan ke spesialis[xiv]. Menurut HIAA (2001b), pendidikan berkelanjutan bagi PPK tentang managed care, merupakan faktor yang sangat penting untuk menjaga kepuasan PPK, kepuasan peserta dan efisiensi sehingga mendorong PPK melakukan praktek yang efektif dan efisien[xv].

Penelitian Lopiga (2009) menjelaskan bahwa semakin baik pengetahuan dokter tentang kapitasi semakin rendah rasio rujukan pasien peserta askes dari Puskesmas[xvi]. Hal ini sesuai dengan pendapat Kongstvedt (2000) yang menyatakan bahwa tingkat pemahaman dokter tentang fungsi asuransi dan aspek ekonomi khususnya tentang kapitasi, akan berpengaruh terhadap perilaku praktek dokter dama managed care dan Henrartini (2008) yang juga menyatakan bahwa tingkat pengetahuan dokter keluarga terhadap kapitasi berpengaruh pada kinerja dokter dalam pengendalian biaya[xvii].

Beaudin (2001) menyatakan bahwa pemahaman yang baik tentang mekanisme managed care mutlak diperlukan untuk mengendalikan biaya dan pelayanan kesehatan karena semakin tinggi pengetahuan PPK tentang sistem asuransi, semakin banyak manfaat yang didapat yaitu PPK dapat merencanakan pelayanan kesehatan yang lebih efisien dan efektif[xviii].

  1. Fasilitas Pendukung

Teori WHO (cit. Notoadmodjo, 2003) mengatakan bahwa salah satu alasan pokok seseorang berperilaku terntentu karena adanya sumber daya yang menyangkut fasilitas, dalam hal ini adanya fasilitas alat medis dan obat di Puskesmasm. Hal ini terkait dengan peran puskesmas (perilaku dokter) sebagai gatekeeper dalam upaya pengendalian biaya pelayanan kesehatan. Ketersediaan alat penunjang diagnosa dan laboratorium serta obat rujuk balik dapat menekan rujukan terutama pasien dengan penyakit kronis.

Standar kelengkapan peralatan medis di Puskesmas rata-rata sama, karena kelengkapan fasilitas peralatan medis puskesmas sangat tergantung dari pengadaan dan alokasi yang bersumber dari dinas kesehatan maupun peralatan yang bersumber dari provinsi atau pusat. Yang membedakan hanya status puskesmas, dimana puskesmas perawatan memiliki fasilitas alat medis yang lebih baik dibandingkan puskesmas non perawatan. Menurut soejitno (1994), puskesmas perawatan dengan ruang rawat inap merupakan “tingkat rujukan antara” (intermediate referral), sehingga memiliki fasilitas kesehatan dasar yang lebih lengkap dari puskesmas biasa[xix]. Penelitian Lopiga (2009) menjelaskan bahwa puskesmas perawatan cenderung merujuk, dimana sebagian puskesmas perawatan (85, 71 %) memiliki rasio rujukan > 12 % sedangkan puskesmas non perawatan hanya 62,50 %.

Kelengkapan peralatan medis di puskesmas ditetapkan berdasarkan standar yang ditetapkan Depkes, tetapi pada kenyataannya peralayan kesehatan yang ada di Puskesmas belum dapat mendukung sepenuhnya pelayanan kesehatan karena berbagai masalah dalam pengelolaannya. Ada dua hal yang menjadi masalah dalam pengelolaan peralatan kesehatan di Puskesmas yaitu masalah manajemen pengelolaan dan masalah peralatan itu sendiri (Depkes & Kesos, 2000).

Penelitian Lopiga (2009) menunjukkan bahwa ketersediaan obat di Puskesmas dari sisi jumlah cukup memenuhi kebutuhan tetapi dari sisi jenis masih kurang. Menurut Depkes RI (2003) ketersediaan obat di Puskesmas tergantung kepada pengadaan dari Dinas kesehatan Kabupaten. Ketersediaan obat di Puskesmas adalah obat esensial sesuai dengan DOEN Puskesmas yang ditetapkan Depkes, sehingga jenis obat di tiap puskesmas hampir sama. Dari penelitian Lopiga (2009) menyatakan bahwa obat yang disediakan dinas kesehatan kurang sesuai dengan kebutuhan disetiap puskesmas, khususnya jenis obat untuk kasus-kasus kronis, seperti DM dan hipertensi masih kurang. Menurut Viperiati & Suryawati (2007), untuk mengendalikan rujukan pasien askes, Puskesmas cenderung untuk meningkatkan pelayanan dasar ke pelayanan rujukan dengan menyediakan obat di luar DOEN Puskesmas, baik dengan nama generik maupun nama dagang.

Puskesmas & PT. Askes berupaya mengendalikan rujukan dengan melengkapi kebutuhan obat rujuk balik untuk kasus-kasus kronis  di Puskemas dengan program dispensing obat. Program ini telah berjalan pada 3 puskesmas, dengan tujuan untuk menekan angka rujukan ke rumah sakit, khususnya kasus-kasus rujukan yang telah ditangani spesialis dan meningkatkan kepuasan peserta. Namun tidak ada hubungan antara kelengkapan obat dengan rasio rujukan. Hal ini disebabkan karena jarak je RSUD yang cukup dekat dan orientasi peserta askes yang selalu ingin ditangani dokter spesialis dan menganggap obat spesialis lebih baik, sehingga puskes,as tetap kesulitan untuk mengendalikan rujukan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di kabupaten kulon progo, bahwa alasan pemilihan obat diluar PKD oleh puskesmas adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan sesuai keinginan masyarakat, agar pasien tertarik datang ke puskesmas dan penyediaan obat sesuai kasus rujuk balik (Viperiati & suryawati, 2007)[xx].

  1. Keinginan Pasien

Lopiga (2009) menjelaskan bahwa tingginya rujukan disebabkan demand pasien askes yang terlalu tinggi dan selalu berorientasi kepada pelayanan spesialis. Peserta menganggap pelayanan kesehatan di puskesmas tidak mencukupi, khususnya bila menganggap penyakitnya serius, sehingga sering meminta rujukan ke puskesmas. Hal ini akanmenimbulkan ketidakpuasan dokter dalam melayani pasien.

Menurut Kongstvedt (2000), sistem pembayaran kapitasi menuntut kesiapan peserta untuk menerima pembatasan pemanfaatan pelayanan yang tidak perlu. Tuntutan pasien yang tinggi untuk mendapakan pelayanan spesialis dan tidak adanyan kontrol dan feed back yang baik mengakibatkan konsep rujukan berjenjang sesuai kebutuhan medis tidak berjalan dan mendorong terjadinya rujukan yang berlebih.

Salah satu ciri khas dari pelayanan kesehatan adalah untuk mencapai status kesehatan yang optimal, healh provider dan konsumen sering tidak memperhatikan aspek biaya dan perhitungan-perhitungan ekoomi dalam pelayanan kesehatan. Health provider selalu didorong untuk menggunakan segala kemampuan, teknologi baru dan obat-obatan yang mahal, untuk memenuhi tanggungjawab moral daam memenuhi kebutuhan medis pasien. Juga didorong oleh kebutuhan konsumen terhadap pelayanan yang terbaik untuk memenuhi rasa aman atas keselamatan nyawa si pasien sendiri. Tidak jarang masalah kesehatan dianggap konsumtif dengan mengabaikan aspek untung ruginya. Pasien sering mengambil kesimpulan sendiri atas masalah kesehatan yang dideritanya dan berusaha agar segera memperoleh pertolongan dari dokter spesialis. Hal ini sesuai dengan pendapat Hendrartini (2008) bahwa terbatasnya pemahaman pasien akan hak dan kewajibannya dan tuntutan (demand) pasien yang terlalu tinggi akan pelayanan kesehatan juga sering menekan dokter keluarga untuk merujuk, walaupun sebenarnya perawatan tersebut dapat dilakukan di praktek dokter.

[i] Sutji, S (2011) Gambaran Pelaksanaan Rujukan Pasien Jamkesmas di Puskesmas Lampung Selatan. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

[ii] Davies, M & Elwyn, G.J (2006). Referral Management Centres: Promising Innovations or Trojan Horses? British Medical Journal, 332 April, pp 844-846

[iii] Kongstveld, P. ed (1989) The managed health care Handbook. An Aspen Publication. Maryland

[iv] Grimshaw, J.W., Winkens, R.A.G, Shirran, L., Cunningham, C., Mayhew, A, Thomas, R & Fraser, C (2005). Intervention to improve outpatient referrals from primary care to secondary care (review). Cochrane Database of Systemic reviews 2005 issue 3.

[v] Rosenthal, TC, Reimendeschneider, TA, Feather, J (1996) Preserving the patient referral process in the managed care inviroment”. The amerikan journal of medicine. March; 100:338-343

[vi] Macintyre, Ce., Littrell, M., Hotchkiss, DR., Mndzebele, S., Nkambule, R., Malima, B., Gumbi, S., Dhlamini, T., Brown, L., Kemere, V (2011) Barriers to Referral in Swaziland: Perceptions from Providers and Clients of a system under stress. World Medical & Health Policy: Vol 3

[vii] Gandhi TK, Keating NL, Ditmore, M et al (2008) Improving Referral communication using a referral tool within an Electronic Medical Record. Agency for Healthcare Research and Quality

[viii] Nakahara, S., Saint, S., Sann, S., Ichikawa, M, Kimura, A., Eng, L., and Yoshida, Katsumi (2010). Exploring Referral Systems for Injured Patients in Low-income countries: a case study from Cambodia. Health Policy and Planning; 25; 319-327

[ix] Mwangome, FK., Holding, PA., Songola, KM., Bomu, GK (2012). Barriers to hospital delivery in a rural setting in Coast Province, Kenya: Community attitude and Behaviours. Rural and Remote Health

[x] Nurjayanti (2011). Manajemen Penanganan Kegawatdaruratan Obstetri pada Puskemas Poned di Kabupaten Dompu Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tesis. Universitas Gadjah Mada.

[xi] Luti, I (2012) Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam menigntkatkan sistem rujukan kesehatan daerah kepulauan di Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau. Tesis. Universitas Gadjah Mada.

[xii] Ramarao, S., Caleb, L., Khan, M., Townsend, JW. (2001) Safer Maternal Health in Rural Uttar Pradesh: do Primary health service contribute?. Health Policy and Planning; 16 (3): 256 – 263

[xiii] Sanders, D., Kravitz, J., Slewin, S., Mckee, M (1998). Zimbabwe’s Hospital Referral System: does it work? Health Policy and Planning; 13 (4): 359-370

[xiv] Kongstvedt, P. R (2000) Pokok-pokok Pengelolaan Usaha Pelayanan Kesehatan (Terjemahan). Hartanto, H. Eds. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

[xv] HIAA (2001b) Managed care: Mengintegrasikan Penyelenggaraan dan Pembiayaan Pelayanan kesehatan bagian B (Terjemahan). Depok: FKM-UI & PT (Persero) Askes

[xvi] Lopiga, A (2009) Faktor- faktor Manajerial yang mempengaruhi rujukan pasien peserta Wajib PT. Askes pada pelayanan kesehatan tingkat pertama di Puskesmas Kabupaten Karo. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

[xvii] Hendrartini, J. (2008) Determinan Kinerja Dokter Keluarga yang Dibayar Kapitasi. Junal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 11 (2) Juni, pp 77-84

[xviii] Beaudin, C (2001) Nursing Professionals and Carrer Positioning in Managed Behavioral Health care.Journal of Psychosocial Nursing & Mental Health Service, 39 (5), pp 41-51

[xix] Soejitno, s (1994) Rumah sakit kabupaten sebagai Pusat Rujukan Medik di Kabupaten. Majalah Kedokteran Indonesiam 44 (12), pp 783-790

[xx] Viperiati, N & Suryawati, S (2007) Pengaruh Penyerahan Dana dan Pengelolaan Asuransi Kesehatan Sepenuhnya Kepada Puskesmas terhadap Efisiensi Pengadaan dan Mutu Penggunaan Obat di Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 10 (1). Pp 20-28

loading...
Share

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*