Kesempatan tidak datang dua kali. Sebagian orang akan selalu menggunakan jargon tersebut dalam menentukan pilihannya. Tapi jargon tersebut tidak berlaku bagi saya. Seperti yang saya alami saat menginjakkan kaki di Masjid Nabawi. Bukan ais namanya kalau gak gila dan aneh. Karena kegilaan saya inilah, Allah SWT langsung uji saya. Setiap ujian pasti ada maksudnya. dan Allah SWT ingin memberitahukan pada saya dan orangtua. Ini cerita menarik.
Setiba di Madinah pukul 20.00 WSA, rombongan kami meluncur ke Hotel. Sembari menunggu check in, kami makan malam. Setelah selesai makan malam tentu seharusnya kami istirahat. Namun tidak dengan pak Salim (ayah saya). Baru masuk kamar, saya langsung lari ke kasur. Berharap meluruskan punggung yang berjam-jam duduk di pesawat. Tapi siapa sangka, pak Salim langsung instruksi “ayo siap-siap ke Masjid shalat Isya”. Bukan ais namanya kalau gak rewel “heh? shalat Isya di Masjid. Kan udah telat pa?”. Papa tetep kalem menjawab “sudahlah. ayo siap-siap ke Masjid”. Saya pun langsung siap-siap. Bu Hartinah (Ibu saya) tanpa diminta langsung udah siap aja. Saat mau keluar kamar, Pak Salim bilang “jangan bawa HP ya. ini mau shalat”. Saya pun langsung menangkas “gak mau. harus bawa HP. ntar kalau ais hilang gimana”. Mendengar bicara saya itu, pak Salim pun berpikir dan akhirnya kami pun bawa HP masing-masing.
Maka kami langsung ke Masjid Nabawi untuk sholat Maghrib dan Isya. Jarak Hotel dengan masjid tidak terlalu jauh sekitar 100 meter. Saat menginjakkan kaki di Masjid Nabawi, Saya berpisah dengan Pak Salim. Saya dan Bu Hartinah menuju pintu wanita. Papa berpesan “nanti kita bertemu di pintu ini ya. kalau ais dan mama udah di pintu ini tapi papa belum ada, berarti tunggu”. Saya dan Bu Hartinah pun sepakat “oke, pa”.
Saya dan Bu Hartinah berjalan ke pintu wanita. Dari kejauhan, terlihat ramainya pintu masuk wanita. Di pintu wanita tersebut juga ada antrian. Dalam hati saya “antrian apa ini”. Para wanita yang mengantri pada berlarian masuk ke dalam. Dalam hati saya lagi “ngapain lari-lari di dalam masjid”. Bu Hartinah bertanya pada seorang jamaah wanita yang bilang “pintu raudhah dibuka”. Mendengar hal tersebut, Bu Hartinah pun jadi ikutan seperti para wanita yang lain ikut berlari. Saya bertanya pada Bu Hartinah, “ada apa sih ma. ngapain lari-lari. kan mau shalat”. Bu Hartinah yang sambil memegang tangan saya dan mengajak lari mengatakan “kita ke raudhah dulu”. Bukan ais namanya kalau tidak ngeyel. Saya tetap bilang ke Bu Hartinah “iya tapi gak harus lari juga kan ma. pelan-pelan aja”. Akhirnya kami sampai di sekumpulan para wanita yang sedang duduk menunggu disuruh masuk oleh askar masjid. Penjaga masjid dengan logat arabnya bilang dengan bahasa Indonesia “duduk ibu..duduk..”. Kami yang hanya berdua asal menerobos langsung dihadang askar masjid, “duduk dulu ibu..duduk…”. Akhirnya kami duduk. Saya baru sadar ternyata disuruh duduk itu karena untuk menunggu giliran masuk. Kami pun sholat dulu sembari nunggu. Dan kejadian itu pun datang.
Selesai sholat, karena masih menunggu disuruh bangun lalu saya mengaji. Baru satu ayat, tiba-tiba ada seorang nenek berdiri di depan saya dan langsung duduk sembari tangannya memegang pergelangan saya. Beliau orang Indonesia. Namun beliau menggunakan bahasa daerah. bukan bahasa Jawa. Karena saya tidak tahu apa yang beliau katakan, saya menggunakan bahasa Indonesia. Ternyata beliau paham apa yang saya tanyakan. Beliau menjawab kalau beliau terpisah dari rombongannya dan minta untuk mengantar ke hotel karena tidak tahu dimana hotelnya.
Saat di Indonesia, saya sudah diberitahu ketua rombongan bahwa di ID card ada nomor HP ketua rombongan. Mengingat itu, saya pun langsung memegang ID card milik nenek tersebut. Alhamdulillah nenek itu mengkalungkan ID Card dilehernya. Benar. tertulis nomor hp disana. Saya pun menelpon. Di telpon saya menjelaskan bahwa nenek masih ada di Masjid Nabawi dan ketua rombongan dari nenek ternyata sudah ada di Hotel. Saya pun meminta untuk bertemu diluar Masjid Nabawi.
Disisi lain, askar Masjid sudah bilang “ayo berdiri..masuk”. Inilah pilihan saya. Bu Hartinah bilang “ayo masuk nak”. Saya malah bilang “nanti saja, ma. antar nenek ini dulu. kita masih bisa ke raudhah beso,ma”. Dan Bu Hartinah pun menyetujuinya. Saya, Bu Hartinah dan Nenek keluar pintu wanita. Kami menunggu di depan pintu wanita menunggu ketua rombongan nenek ini. Alhamdulillah akhirnya ketua rombongan nenek datang. Akhirnya nenek pulang ke Hotel bersama ketua rombongannya. kami pun berpisah”.
Saya pun bilang ke Bu Hartinah “ma, ayo. papa pasti udah nunggu”. Dan benar adanya. Pak Salim sudah sampai duluan di pintu janjian kami. Saya langsung celoteh “sudah lama nunggu pa?”. Pak Salim dengan kalemnya jawab “gak kok. baru aja sampai”. Saya pun dengan cerewetnya langsung bilang “pa, tadi kita nolong nenek yang kesasar. untung ais bawa HP jadi ais bisa hubungi ketua rombongan yang ada di ID Card nenek itu. Tuh pa. benerkan. HP ada gunanya saat pergi shalat”. Mendengar cerita dan omelan saya itu, pak Salim langsung bilang “oke. kita bawa HP terus saat shalat”. Hihi
Apa hikmah dari cerita ku diatas? Allah SWT benar-benar izinkan saya dan bu Hartinah menuju Raudhah ke esok harinya. Bahkan tanpa disadari saat di dalam Raudhah kami dapat waktu yang lama. Bu Hartinah bilang “alhamdulillah kita bisa lama di Raudhah. Biasanya cuma bisa beberapa menit saja karena harus bergiliran”. Menurut saya, ini adalah hadiah dari Allah SWT karena kemarin menolong nenek yang kesasar dibandingkan ke Raudhah.
Saya pun akhirnya tahu makna dan kenapa orang-orang berbondong-bondong lari ke Raudhah. Karena saya pun merasakannya sejak sampai di Raudhah. Air mata ini terus mengalir. Aku memang tak mengenal apalagi terlalu cinta pada Rasulullah SAW. Tapi kenapa saat di Raudhah, ada perasaan yang tak bisa diungkapkan. Perasaan yang hanya bisa diungkapkan dengan meneteskan air mata ini.
Semoga Allah SWT melalui Rasulullah SAW mengijinkan keluarga kami lagi berkunjung ke Madinah.
Leave a Reply