Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) lahir bukan dari sistem kesehatan. Tapi dari luar sistem kesehatan yaitu dari jaminan sosial sehingga lingkupnya lebih luas lagi. dan Undang-undang Kesehatan pada prinsipnya sangat mengacu pada pemerataan. Namun terpenting bagi BPJS yang single pool adalah bisa membayar. Sehingga tidak tahu sumber fragmentasi yang menyebabkan defisit dimana, tidak tahu kabupaten mana yang defisit, apa tanggung jawab provinsi yang defisit, dan tanpa ada batas klaim di sebuah daerah membuat Pemerintah daerah (Pemda) cenderung tidak bertanggung jawab pada pengeluaran. Malah sebagian dana BPJS dapat menjadi sumber pendapatan bagi Pemda dan resiko defisit di tanggung semua oleh BPJS” Kata Prof. Laksono.
Akan susah menjawab bila tidak memasukkan ideologi dalam analisis. Pemerintah pro kaya atau miskin ? Si kaya sebenarnya bisa membeli sendiri karena memiliki uang. Mengapa tidak memaksa orang kaya untuk menggunakan askes komersial dan tidak menggunakan BPJS. Jangan orang kaya yang justru mengambil triliunan pada waktu rawat inap mengambil kelas 2 dan kelas 1. Oleh karena itu peluang kelas 2 dan kelas 1 harus di tutup dan dilandasi UU” Kata Prof. Laksono.
Apa yang terjadi bila ada batas atas untuk Pemda ?
Prof. Laksono memberikan usulan seperti ini “bila Pemda sudah melebihi batas tertentu misalnya Sleman 800 Milyar maka Sleman harus membayar sendiri. Sehingga memberi motivasi untuk pengendalian pengeluaran dan pencegahan penyakit”. Pemda sebenarnya bisa diberikan beban untuk menanggung bersama.
“Perlu ada analisa bahwa untuk daerah yang tidak semudah Yogyakarta. Data klaim paling banyak di Yogyakarta adalah penyakit katastropik. 73,9 % dana digunakan untuk kuratif. Dinas kesehatan tidak mudah mengakses data yang ada di BPJS. Sementara teman-teman di RS tidak fair yaitu tidak memberitahukan informasi yang sejujurnya terkait data klaim sehingga menjadi persoalan untuk menganalisis” Kata dr. Anung.
Menurut dr. Anung, Permasalahan JKN adalah regulasi dan data seperti data PBI dari kementerian sosial belum valid dan Yogyakarta sedang melakukan perbaikan mengenai ini. Klaim di pending karena koding. Verifikator pun seharusnya independen bukan dari BPJS. Verifikator bukan person tapi dilakukan dengan sistem. Jadi verifikator di masing-masing RS akan ditarik oleh BPJS.
Pembayaran Kapitasi
dr. kalsum komaryani, MPPM (kepala pusat pembiayaan dan jaminan kesehatan) menjelaskan bahwa pembayaran kapitasi pada FKTP belum memberikan dampak pada kinerja secara individual pada institusi FKTP. Fokus implementasi saat ini adalah insentif yang didapat di institusi FKTP (puskesmas) yaitu seberapa besar dan seberapa banyak insentif yang diperoleh pada individu di FKTP tersebut. Saat ini puskesmas sudah mengimplementasikan kapitasi berbasis komitmen pelayanan karena kapitasi merupakan salah satu insentif yang diperoleh oleh puskesmas diantara beberapa sumber pembiayaan yang didapat di puskesmas. Harapannya ada suatu bentuk pemberian insentif yang bisa memotivasi peningkatan kinerja secara individu pada FKTP.
“yang mengakses pelayanan ini memang kalau di kalangan ekonomi menengah ke atas, mereka meningkat kesadarannya. Sehingga belanja negara yang tinggi, RS swasta laku karena banyak diakses oleh ekonomi menengah ke atas. Tetapi yang menengah ke bawah masih lebih banyak menggunakan akses layanan publik yang dilakukan oleh Pemda. Sumber atau kantong-kantong penyakit menular, kematian ibu anak mayoritas dari kantong kemiskinan” kata dr. Kalsum.
Sumber : Prof. Laksono, dr. Anung & dr. Kalsum. Kaleidoskop Kebijakan Kesehatan 2017: Apakah Fragmentasi Sistem Pelayanan Kesehatan Semakin Parah?. 30 Desember 2017
Leave a Reply