Siang ini, ayah saya kirim foto plang lembaga MTs dan foto Masjid tanpa caption di grup WA keluarga kami. Kami anak-anaknya biasa saja melihat foto tersebut. Saya tanya apa ayah saya mau bawa anak-anak MTs Sorong ke Tegal atau mau bangun MTs seperti di Tegal. Beliau diam saja dan tidak balas chat saya di grup WA. Saya coba perhatikan baik-baik foto tersebut karena tidak mungkin pak Salim kirim foto kalau tidak ada maksudnya. Dan benar ada yang aneh di foto tersebut. Nama jalan di plang itu. Tertulis Jalan Ir. Salim Mas’oed. Nama ayah saya. Tulisan Mas’oed nya itu hanya milik ayah saya.
Apakah ini kebetulan ?? Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Dan akhirnya ayah saya memberitahukan bahwa benar nama jalan itu di maksudkan untuk ayah saya.
“Inilah perjuangan papa, 29 tahun yang lalu. perjuangan untuk umat Islam pada saat itu dan masyarakat disitu sepakat memakai nama papa untuk jalan tersebut. Dan saat itu papa tidak keberatan”
Nama suatu jalan tidak sembarang dibuat. Biasanya persetujuan DPRD dan biasanya orang berjasa di daerah itu. Pada saat itu, belum ada DPRD. Masyarakat kumpul dan sepakat menggunakan nama ayah saya. Kenapa nama ayah saya yang digunakan? Karena ayah saya berjuang mempertaruhkan nyawa untuk menarik kembali umat Islam yang pindah agama untuk menjadi Islam lagi. Untuk pindah ke Islam lagi, ayah saya harus siap bantu untuk hidup masyarakat.
Ayah saya pernah menjadi ketua STID (Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah) yang dilantik oleh Rektor UMI dari Makassar. Semua dosen dan pimpinan STID tidak ada di gaji oleh Yayasan. Semua ikhlah berjuang untuk ummat pada saat itu di Sorong.
Foto-foto ini ternyata didapatkan dari karyawan SMK Bahari (Tempat ayah saya bekerja saat menjadi Kepala SMK Bahari) yang juga mahasiswa Ibu saya. Dan saat ini karyawan tersebut kerja di Sorong. Beliau jalan-jalan dan tidak sengaja kaget dengan nama jalan ini. Beliau langsung kirim ke WA ayah saya.
Ayah saya pernah bekerja di Sorong 5 tahun sebagai kepala SUPM Sorong. Karena jarak yang jauh dan biaya yang mahal untuk ke Jawa, beliau jarang pulang ke Tegal. Bahkan saat beliau ke Tegal, saya (saat itu masih kecil) memanggil beliau “om” karena saya kira om yang menjaga saya waktu itu adalah ayah saya. Dan kata ibu saya, ayah saya menangis karena saya memanggilnya “om”. Ayah mana yang tidak sedih bila dipanggil “om” oleh anaknya. Tapi sekarang, saya sangat bersyukur bahwa beliau adalah ayah saya.
Ayah saya sangat berubah drastis… Beliau bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang cantik. Mulai dari Shalat tepat waktu di rumah sendiri menjadi shalat jamaah bersama keluarga di rumah. Berubah menjadi shalat di Masjid. Hingga saat ini. Beliau tidak mau meninggalkan 5 waktu jamaah di Masjid. Bahkan hujan pun tetap pergi ke Masjid. Hingga kami keluarga nya marah kalau beliau ke Masjid saat hujan deras.
Sekarang akhirnya saya tahu. Kenapa ayah saya bisa seperti ini. Masjid mencintai ayah saya hingga ayah saya tak mau meninggalkan Masjid. Masjid di Sorong ini menjadi salah satu yang mendoakan ayah saya dan keluarga kami.
Ayah saya tidak pernah memaksa kami anak-anaknya untuk shalat di Masjid. Beliau bukan tipe yang banyak bicara “ayo sholat di Masjid” melainkan lebih bertindak. Beliau lebih kepada memberikan contoh dulu. Sebelum adzan berkumandang, Ayah saya sudah pergi ke Masjid. Meninggalkan semua pekerjaannya dan mendahulukanNya. Kami anak-anaknya suka Masjid karena melihat Ayah saya. Bahkan cucu-cucu nya pun tahu kalau kakeknya sudah pakai baju koko dan sarung pasti akan ke Masjid.
Papa saya selalu berpesan “jangan berhenti berbuat baik kepada siapapun”.
Wah… banyak yang bisa diteladani dari Papamu Iz… Bangga sama perjuangan Papamu Iz..