
Kemarin, website BPJS Kesehatan memposting berita dengan judul “3 Provinsi (Aceh, Jakarta, Gorontalo), 67 Kabupaten, dan 24 Kota sudah lebih dulu UHC di Tahun 2018″. Kapan kira-kira NTT, Papua dan Maluku akan ikut menyusul ?? Tapi saya tergelitik dengan tulisan di berita tersebut bahwa “hasil survei dari PT Frontier Consulting Grup tahun 2017 menunjukkan angka kepuasan peserta JKN mencapai 79,5%”. Kira-kira peserta yang puas tersebut berasal dari provinsi maju (Jakarta, DIY) atau provinsi sulit (NTT, Papua, Maluku) ???
Bolehkah saya berpikir bahwa Era JKN, orang miskin dilarang sakit. Bukan karena orang miskin yang tak memiliki biaya maka tidak bisa memanfaatkan fasilitas kesehatan. Melainkan orang miskin menjadi salah satu penolong defisitnya BPJS Kesehatan. Jadi kalau orang miskin sakit maka mungkin defisit BPJS Kesehatan akan semakin banyak. Mengapa saya bisa berpikiran demikian ?
Dari penjelasan Prof. Laksono (saya selalu mengikuti perkembangan apa yang disampaikan guru besar FK UGM ini. Jadi harap maklum bila setiap tulisan saya bersumber dari beliau) bahwa selama ini benefit package yang ada tidak memiliki paket dasar. Berbeda dengan beberapa negara yang memiliki paket dasar. Seharusnya ada paket dasar untuk semua provinsi.
Di Indonesia, ada DKI Jakarta sebagai provinsi maju dan ada provinsi sulit seperti Maluku dan NTT. Untuk memenuhi paket dasar misalnya paket caesar. Artinya harus ada dokter obgyn namun masih banyak RS di pedalaman yang tidak ada dokter obgyn nya. Sedangkan dokter umum yang ada tidak diberi kompetensi atau wewenang sampai caesar. Sementara di DKI, benefit package nya bisa jauh di atas standar minimum. Sehingga akan memberi peluang banyak bagi provinsi maju untuk mengambil banyak dana BPJS Kesehatan.
Selain itu, masih belum ada pagar di dalam BPJS yang single pool. Dana PBI yang diperuntukkan untuk orang miskin bisa untuk menutup atau menambal kerugian di peserta mandiri. Sehingga apakah ini memenuhi nilai keadilan sosial sesuai tujuan UU SJSN ??
Dana PBI dari BPJS Pusat memiliki tarif yang sama untuk seluruh provinsi baik provinsi maju maupun provinsi sulit yaitu Rp 23.000,-. Menurut berita Kedaulatan Rakyat pada Oktober 2016 yang mewawancarai pejabat BPJS Kesehatan menjelaskan bahwa iuran yang diterima oleh BPJS di Kabupaten Sleman sebesar Rp 183 Milyar. Namun klaim yang diajukan sebesar Rp 868 Milyar. Sedangkan di Kabupaten Malaka (NTT), Iuran yang diterima BPJS sekitar Rp 30 Milyar. Sedangkan klaim yang diajukan sebesar Rp 17 Milyar. Sehingga diperkirakan masih ada dana sekitar Rp 13 M yang berada di BPJS.
Kabupaten Malaka di bawah standar minimum package. Untungnya sekarang ada program wajib kerja dokter spesialis sehingga ada dokter spesialis obgyn di Kabupaten Malaka. Sebelumnya hanya ada 1 dokter spesialis yaitu anak. Sedangkan di provinsi maju, penanganan-penanganan medik dengan INA-CBGs tinggi akan dipergunakan oleh masyarakat kaya anggota BPJS Kesehatan. Sehingga akibatnya pengeluaran BPJS untuk masyarakat kaya dapat unlimited di daerah maju.
UU Kesehatan pada prinsipnya sangat mengacu pada pemerataan tapi BPJS Kesehatan dengan single pool yang terpenting adalah bisa membayar. Sehingga tidak tahu sumber fragmentasinya dimana yang menyebabkan defisit, kabupaten mana yang defisit, apa tanggung jawab provinsi yang defisit.
Sumber : Prof. Laksono dalam diskusi kaleidoskop Kebijakan Kesehatan Tahun 2017 yang dilaksanakan pada tanggal 28 Desember 2017
Leave a Reply