
Betapa ‘ngeri’ negeri ini. Segala aspek moral, adab terancam dalam keadaan darurat dan siaga satu. Darurat narkoba, darurat seks bebas, negeri penuh ‘candu’ baik candu narkoba, seks, pornografi, sampai ‘ngisep lem’. paranoid kah ? Berlebihan kah ? Tidak juga, karena itu terjadi, dekat dan sangat dekat disekitar kita. Fenomena anak-anak pengidap ‘sakit yang tersembunyi’ diungkap oleh Pak Cahyadi. Beliau menanyakan “anak-anak burukkah mereka? Lahir dari orang tua amburadulkah mereka?” TIDAK.
Beberapa hafalan qur’annya bagus tapi lesbi. Ayah ibunya sukses, tapi melakukan ‘self harm’ dan self injury. Sungguh benar, anak-anak yang telah merasa ‘sakit yang tersembunyi’ akan merasa lebih baik menyakiti diri secara fisik untuk melarikan ‘invisible pain’ yang tak tertangkap oleh orang-orang yang harusnya mengasihinya.
Fenomena ‘anak baik-baik’ yang berontak untuk menunjukkan perlawanan pada orang tua bukanlah proses yang tiba-tiba. Anak-anak yang melakukan penyimpangan di masa kecil, akan terbawa di masa dewasa. Lalu mengapa anak-anak yang ‘awalnya baik’ jadi bermasalah ? atau mengapa orang tua nya baik terpandang, terpelajar, agamis kok si anak bisa tertekan ?
Ternyata, menjadi orang tua baik saja tidak cukup. Karena, mungkin saja kebaikan-kebaikan kita belum menyentuh ruang hati anak-anak dan remaja kita. Juga, rasanya yang dibutuhkan anak-anak dianggap cukup dipenuhi oleh kawan mereka dan gadgetnya.
Kuncu menghadapi remaja adalah flashback pengasuhan. Jika kita mau jujur, maka setiap kali ada krisis atau masalah yang dialami anak, sesungguhnya itu adalah waktu untuk menunjukkan kedekatan dan mengevaluasi perjalanan pengasuhan. Dekat ? Ya, dekat dan hangat. karena remaja tadinya hanya ingin orang tuanya menjadi orang yang paling akrab, dekat, hangat dengan dirinya. Mendengat curhatnya, menanggapi dengan tidak panik, memeluknya saat ia galau.
Simple bukan ? Sayangnya banyak orang tua ‘terlambat’ menangkap sinyal kerinduan itu dan lalu gagal memahami. Ya, menjadi orang tua yang BAIK dan DEKAT itu harus MEMAHAMI anaknya
- Trust. Bangunlah kepercayaan anak pada kita, orang tuanya. Salah satu kesuksesan menghadapi anak dan remaja beserta pernak perniknya ternyata bersumber pada TRUST (kepercayaan). Dan, basic trust itu dibangun paling efektif saat usia 0-2 tahun. Masa itu kita harus mampu memberi bekal ‘rasa aman’ yang akan menjadi memori di tahap berikutnya. Anak yang memiliki basic trust akan tumbuh menjadi percaya diri. Pengalaman basic trust yang buruk akan membuat efek negatif pengasuhan berikutnya. Orang tua yang ‘mengkhianati’ kepercayan anak-anak akan dianggap tidak asyik lagi. Anak-anak akan merasa “ah, paling ibu nggak akan percaya”, “Ah, jujur malah dimarahin lebih baik bohong aja”. Jaga kepercayaan anak-anak pada kita agar tak hilang ditelan masa.
- Belajar tahapan perkembangan: Jangan menggegas dan Ngegas! Salah satu quote menarik “Tak akan tertunaikan kewajiban pengasuhan dengan baik, jika tidak mengetahui tahapan perkembangan anak dan remaja”. Tahapan perkembangan anak-anak kita terhubung satu sama lain. Jadi janganlah para orang tua membanggakan satu faktor saja. sebagai contoh anak dengan IQ tinggi pun akan ‘terlihat bodoh’ saat dia tidak memiliki skill motorik kasar dan halus karena terkesan lemah dan tidak aktif. Semakin dini anak, semakin harus di stimulus sensorik dan motoriknya. Lalu, sebagai orangtua, tidak usahlah kita terlalu menggegas tahapan anak kita. Biarkan ia tumbuh dengan kita memfasilitasi fitrah baiknya agar tetap bertumbuh. Tahapan perkembangan sosio emosional menurut Erickson adalah (1) basic trust: berikan rasa aman di usia 0-2 tahun, agar anak-anak memiliki modal untuk percaya diri dan menanamkan kepercayaan. (2) otonomi: kemandirian ditumbuhkan di usia 3 tahun. dimasa inilah anak harus ‘tuntas ego’, menghargai hak miliknya. Latih anak membiasakan hal-hal baik. (3) inisiatif: masa ini ada di usia TK. Menstimulus anak-anak usia ini bukan dengan membandingkan dan memaksa berkompetisi, namun dengan ditumbuhkan inisiatifnya. (4) industry: masa SD, masa dimana anak-anak suka membuat project, memperbanyak kegiatan ekstrakurikuler, variasi aktifitas di usia ini sangatlah membantu.
- Fase Peer Group: Saat mulai jauh dari orang tua. Ayah ibu harus menyadari bahwa usia SMP dan SMU selalu ingin ngegroup. Bergaul, membuat kesepakatan-kesepakatan dengan kita. Tahapan inilah PENTINGNYA orang tua ikut membimbing, berdiskusi untuk mencarikan bi’ah atau lingkungan. Dasari anak-anak suka curhat dengan teman, maka teman sebaya merupakan ‘harta’ mereka.
- Memberi Ruang hal-hal normal, akan membantu anak menuju kematangan. Jatuh cinta, naksir, kagum adalah ruang-ruang perasaan yang normal. Orang tua tidak perlu paranoid dan ‘ngegas’ kalau anak remaka kita bermasalah. Piye kalau jatuh cinta ? Kok gitu sih anakku. Anak remaja kita hanya ingin banyak di dengar. Pandanglah segala proses tumbuh dan kembang ini sebagai sebuah peristiwa alami, dimana setiap fasenya kita diberi kesempatan mereka untuk menikmatinya bersama kita, orang tuanya yang sehangat sahabat!
Sumber : Vida Robi’ah Al Adawiyah
Leave a Reply