JKN menjadi salah satu yang strategis untuk pembangunan kesehatan. Namun, ada masalah yang semua bisa merasakannya yaitu kekurangan dana atau defisit. Selain itu, tarif tidak sesuai dengan cost real yang dikeluarkan oleh RS khususnya RS Swasta. Tapi di beberapa tempat, ada RS Swasta yang tidak bekerja dalam dana BPJS seperti National Hospital Surabaya. RS tersebut bertahan atau menggarap segmen yang tidak di danai BPJS. Ini hal yang menarik mengenai bagaimana peluang investasi dan keberlangsungan RS swasta. Konsultan Ernst & Young menyatakan saatnya RS Swasta di Indonesia untuk investasi.
Era BPJS 2014, ada RS Swasta yang bekerjasama dengan BPJS misalnya RS Swasta yang berbasis keagamaan, RS berbentuk jaringan (seperti Siloam, Bunda) dan Swasta soliter (sendiri tidak berada dalam jaringan). Ada RS Swasta yang tidak/belum bersedia melakukan kerjasama dengan BPJS seperti National Hospital Surabaya.
BPJS mengalami defisit karena ada tren kenaikan pengeluaran yang besar terutama di Jawa Tengah/DIY dari 9 T di tahun 2015, 12 T di tahun 2016 dan 15 T Tahun 2017. Perusahaan konsultan internasional Ernst & Young (E&Y) mengusulkan untuk investasi. Dan ini seperti kontradiksi antara defisit dengan E&Y. Untuk RS, PMA boleh. Secara hukum, investasi di bidang RS sudah dibuka luas untuk investor asing.
Flashback saat presentasi Prof. Laksono di Kongres PERSI tahun 2012, Prof. Laksono pernah menyampaikan pertanyaan “apakah semua orang Indonesia harus melalui BPJS ?”. Prof. Laksono menjawab Tidak semua orang harus menjadi anggota BPJS. Karena 10 % di Indonesia adalah orang kaya (25 juta) sehingga ada dua front ekstrim dalam demand orang-orang kaya dan miskin. Dan BPJS sulit melayani segmen ini (orang kaya) karena tarif BPJS yang di patok, obat di patok, medical treatment nya juga ada batasan. Jadi ada 2 pasar yang memiliki sumber dana berbeda.
Sumber dana pembiayaan kesehatan di Indonesia berasal dari pajak dan pendapatan negara bukan pajak yang masuk ke APBN. BPJS selain dapat dari pajak juga mendapat dari Non PBI PNS, Jamsostek, Non PBI Mandiri, askes swasta, dana dari masyarakat langsung dan pendapatan asli daerah. Dana tersebut di pool di 2 tempat yaitu APBN dan Kemenkes. Dan APBN yang ke BPJS. Oleh BPJS di belanjakan ke RS. Lalu mengapa BPJS Defisit ?
Pengeluaran terutama untuk klaim unlimited (tidak ada batasnya untuk pasien, rumah sakit atau pemda). Tapi pendapatan BPJS itu fix yaitu diatur oleh berbagai regulasi. Dan sangat sulit memanfaatkan perkembangan ekonomi di masyarakat. Selain itu, kelompok PBPU di tahun 2015, klaimnya masih di atas 250 % artinya kalau BPJS menerima 100 Milyar maka harus mengeluarkan klaim sebesar 250 Milyar. Namun yang PBI relatif kurang dari 100 % artinya tidak rugi.
Perkembangan ekonomi di Indonesia, Gross Domestik product (GDP) meningkat tinggi dari tahun ke tahun. Tapi kenaikan pendapatan negara dari pajak dan non pajak tidak sebesar yang GDP. Artinya RS Swasta yang bekerja sama dengan BPJS masuk dalam sistem pajak. Sehingga ada batas-batas atas. sementara ekonomi kita berada diluar pajak yang memiliki peluang untuk dipergunakan melayani tanpa melalui BPJS (berasal dari dana masyarakat langsung, askes swasta atau dana filantropis dari orang-orang kaya) yang bisa diambil dari RS swasta. Khusus untuk RS Swasta keagamaan tentunya dana filantropis (seiman islam, katolik, kristen) sangat besar peluangnya.
Namun, ada konsekuensi atau masalah yang RS Swasta alami ?? Apakah itu ?? Nantikan tulisan part 2.
Sumber : Prof. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD. Seminar Investasi dan Keberlangsungan RS-RS Swasta dalam Era BPJS. 26 Agustus 2017 di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Semarang.
Leave a Reply